CERPEN 

Meja Kasir

Panji Sukma Her Asih atau yang lebih akrab disapa Panji Sukma, lahir di Sukoharjo, 1 Maret 1991. Saat ini mengasuh Sanggar Semesta Bersua. Bergiat di Komunitas Sastra Kamar Kata Karanganyar dan Literasi Kemuning. Karya yang telah terbit, novel Astungkara (Penerbit Nomina, 2018), Semesta Bersua Zine (2016), Antologi Cerpen Yang Tergusur (Kekata Publisher, 2019), Antologi Puisi Perjamuan Kopi di Kamar Kata (Penerbit Nomina, 2017). Beberapa cerpennya telah dimuat baik di media lokal ataupun nasional. Surat-menyurat: bersualahsemesta@gmail.com. Nomor WA: 081217145787.

 

“Seperti biasa ya, Mbak,” ucapnya lembut usai menengok isi tas selempang yang ia kenakan, sebelumnya ia sempat melirik ke sisi kanan meja kasir.

“Oh, iya, Mas.” Kukerjakan tugasku sesuai keinginan lelaki dermawan yang akhir-akhir ini menarik perhatianku itu. Sebenarnya aku sudah hafal betul kebiasaannya, ia selalu mendonasikan uang kembalian, tak peduli sekalipun nominalnya cukup besar. Ia tak pernah tahu jika mengamati langkahnya hingga keluar pintu adalah ritual yang selalu kulakukan, setidaknya dua minggu terakhir ini. Nama lelaki itu juga baru aku tahu tiga hari lalu saat ia menjawab panggilan telepon dan sempat menyebut namanya sendiri, Haris. Tiap sore ia memang selalu mampir untuk membeli rokok atau sekadar membeli camilan, kecuali hari Minggu, mungkin di hari itu ia libur kerja. Seingatku pernah sekali ia datang namun tak sampai masuk. Saat itu aku sedang melayani seorang. Haris hanya berdiri di parkiran dan tampak sibuk dengan ponsel di tangan. Ternyata orang yang usai kulayani itu kenal dengan Haris, di parkiran mereka tampak mengobrol dan pergi bersama, dengan motor masing-masing.

Ketika dalam lingkungan yang buruk, maka kita akan menemukan hal-hal sederhana untuk dapat dinikmati, bahkan dirayakan. Itu pula yang kurasakan tiap kali Haris mampir. Bahkan aku sudah salah tingkah ketika dari balik dinding kaca kulihat ia hendak memasuki minimarket tempatku bekerja, selalu bergegas kurapikan rambut, kalau pun tak sempat, setidaknya kusempurnakan cara berdiri setegap mungkin. Ia adalah anomali yang kutemukan di tempat ini. Minimarket tempatku bekerja berada di lingkungan yang sangat buruk. Lokasi yang dikelilingi tempat-tempat maksiat, dari karaoke dengan gadis-gadis berpakaian seksi yang menunggu di depan pintu, jasa pijat plus-plus, hotel yang menyediakan perempuan bayaran, dan tempat untuk membeli alkohol, semua seakan wajar tanpa ditutup-tutupi. Menjadi pekerjaanku sehari-hari harus melayani pembeli yang seringkali membuatku jengkel. Rasanya lingkungan ini diisi oleh makhluk-makhluk yang kelak akan mengisi neraka. Bagaimana tidak, dari pemabuk yang membeli minuman kaleng untuk campuran alkohol, lelaki hidung-belang yang membeli kontrasepsi sebelum masuk ke hotel, serta perempuan malam dengan pakaian seronok yang kerap membeli tisue magic, adalah hal lumrah. Dari para perempuan itu sering kudengar istilah-istilah alat kelamin dengan bahasa yang menjijikkan, kadang sampai membuatku merinding jika harus mengingatnya.

Razia polisi lebih mirip seperti rombongan penarik pajak, usai menerima amplop, mereka pergi. Bekerja tiga minggu di tempat ini telah membuatku hafal hari apa saja dan jam berapa rombongan itu datang. Benar-benar tempat yang jauh berbeda dengan tempat asalku, maklum, aku tinggal di Petamburan, lingkungan yang sangat mengedepankan aturan agama dan kesusilaan. Beberapa kali sempat terbesit niat untuk berhenti dan mencari pekerjaan di tempat lain, namun kontrak kerja tiga bulan sebagai kasir sudah terlanjur kutandatangani. Lagipula kepalang tanggung karena sewa kos yang sudah kubayar di awal, daripada untuk membayar kos yang baru dan mencari pekerjaan yang belum tentu langsung kudapat, lebih baik uang kutabung untuk tambah-tambah biaya masuk kuliah yang memang sedang kukumpulkan.

Entah kenapa aku sangat tertarik pada Haris, ia mengingatkanku pada seseorang di masa lalu, Fikar. Mereka sama-sama memiliki senyum yang ramah dan tatapan mata yang lembut. Aku memiliki banyak kenangan yang indah dengan Fikar. Dulu tiap kali ingin bertemu, kami harus kucing-kucingan dengan pengawas pondok. Ia tak pernah sekalipun bersikap kasar apalagi melakukan hal yang merendahkanku, ia sangat menjagaku sebagai seorang perempuan. Ia kerap membantuku dalam menghafal hadist sebagai tugas yang diberikan oleh pengajar pondok, dan juga banyak memberi nasihat agar aku selalu istiqamah dalam menuntut ilmu. Sebenarnya putik cinta mulai kurasakan ketika suatu kali kami pulang bersama di libur tengah tahun, kebetulan kami berasal dari kota yang sama, Fikar menggenggam tanganku sepanjang perjalanan. Entahlah, saat itu aku benar-benar merasa bahwa di dunia ini ada lelaki yang tulus padaku, tentu selain almarhum Abi. Kedekatan kami berakhir semenjak sama-sama lulus dari pondok. Ia memutuskan untuk langsung melanjutkan kuliah di Malang. Sedangkan aku, terjebak di tempat ini, mimpi untuk kuliah harus aku tunda karena masalah biaya. Aku tak mau merepotkan Umi-ku, apalagi ia mulai sakit-sakitan semenjak meninggalnya Abi setahun lalu.

Aku yakin sifat Fikar ada pada Haris, aku bisa melihat itu. Mungkin terasa terlalu cepat menilai seseorang hanya dari senyum dan tatapan matanya, tapi entah mengapa keyakinan itu begitu kuat seiring pertemuan-pertemuan kami yang hanya diperantarai meja kasir. Kupikir aku bisa berteman dengan Haris, tiap pulang kerja mampir di minimarket ini pastilah karena ia tinggal tak jauh dari sini. Aku tak punya banyak pilihan untuk mencari teman di lingkungan yang buruk ini, kuharap ia tak keberatan untuk kuajak berteman.

Pernah ingin kuwujudkan niat untuk mengajak ia berkenalan, atau setidaknya memulai percakapan, sekadar bertanya di mana rumahnya, atau bertanya di mana tempat ia bekerja. Namun semua itu gagal karena sebelum sempat aku bertanya, ia mengangkat sebuah panggilan telepon, aku masih sangat ingat yang ia ucapkan kala itu, entah ditujukan pada siapa. “Oh, yaudah kalau masih. Aku langsung ke sana aja.” Setelahnya, ia bergegas pergi pergi, meninggalkan senyuman dan tak pernah tahu tentang niatku. Jelas tak sopan seandainya hari itu aku menahannya. Terlebih, aku pasti mendapat peringatan dari atasanku jika melakukannya. Aku hanya bisa mengulang ritualku, seperti hari-hari sebelumnya, menikmati dari belakang si lelaki dermawan melangkah keluar pintu.

***

Beruntung sekali hari ini aku mendapat kabar dari atasanku bahwa hari ini ia tak datang ke minimarket, ia harus mengantar istrinya ke dokter kandungan. Dengan begitu aku bisa mewujudkan niatku untuk berkenalan dengan Haris. Yah, standar operasional kerja memang tak mengizinkan pekerja di minimarket ini untuk bercakap dengan pelanggan di luar urusan pelayanan.

Jam terasa lama bergulir menuju pukul setengah lima sore, waktu di mana Haris selalu mampir membeli sesuatu. Namun Keteguhan dan rencana matang berubah menjadi was-was, ketika coba kurangkai kalimat yang tepat untuk mengawali percakapan. Sulit memang, lelaki yang selama ini hanya kunikmati senyum ramah dan bidang punggungnya, kini hendak kuajak berkenalan. Terlebih ia lelaki yang sangat sopan, aku takut jika ia malah salah sangka dengan niatku. Perempuan macam apa yang mengajak seorang lelaki berkenalan, apalagi posisiku seorang kasir dan ia seorang pelanggan. Pikiran itu tiba-tiba memenuhi kepalaku. Sempat hendak kubatalkan niatku, tapi kapan lagi aku bisa berkenalan dengan Haris, mumpung atasanku tidak datang hari ini.

Di tengah kebimbanganku, tiba-tiba masuk seorang perempuan dengan rok pendek bermotif loreng. Aku sudah hafal betul perempuan macam apa ia. Aku tak perlu menduga-duga. Kondisinya mabuk berat, gelendotan di tubuh lelaki berkumis dengan seragam dinas ASN. Dengan kalimat yang tak beraturan ia memintaku mengambilkan dua bungkus rokok filter. Mulut perempuan itu terus nyerocos tentang hal-hal yang menjijikkan, ia merasa tak puas dengan permainan ranjang lelaki di sampingnya. Sebisa mungkin kualihkan pikiran, kupercepat pelayananku agar ia segera mendapat apa yang ia mau dan segera pergi dari hadapanku. Tepat ketika mereka mendorong pintu keluar, masuk pula Haris, lelaki yang yang kutunggu kedatangannya sedari tadi. Aku sempat merasa risi karena si perempuan mabuk memandangi Haris dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapannya sangat menjijikkan. Aku yakin Haris juga merasa risi, ia tampak membuang muka dan berlalu menuju meja kasir.

Aku benar-benar bersyukur. Tak kusangka Haris menyambut baik niatku untuk berkenalan, bahkan ia yang lebih dahulu memberikan nomor telepon sebelum kuminta. Ternyata Haris tinggal cukup jauh dari dari sini. Perkiraanku salah. Dia mampir ke sini tiap sore bukan sepulang kerja, namun malah baru akan berangkat kerja. Ia juga menyampaikan niat untuk suatu saat mengajakku pergi jalan-jalan, hal yang memang sedang sangat kubutuhkan, aku jengah dengan lingkungan ini dan ingin mencari udara segar.

“Oh iya, Ris. Seperti biasa? Kembalianmu cukup banyak ini, sembilan ribu lima ratus rupiah,” tanyaku di sela obrolan kami yang semakin cair. Kumasukkan beberapa bungkus camilan yang ia beli.

“Ehm. Sebentar, sepertinya ada yang aku lupa.” Haris menengok ke dalam tas selempangnya, tangannya tampak sedang mencari sesuatu di dalam tas. Ia mendengus tak lama kemudian, mungkin karena ia tak menemukan yang dicari. Matanya melirik ke sisi kanan meja kasir sembari mengangguk kecil, lalu menunjuk deretan kontrasepsi yang tertata rapi. “Satu, ya. Yang sebungkus isi tiga,” ucapnya santai sembari melempar senyum.

Kurasakan sesak di dadaku. Sulit kuterima. Dunia seakan runtuh seketika. Tapi kepalang tanggung. Aku harus mencari cara agar tahu dan memastikan bahwa Haris memang benar-benar hendak membeli untuk dirinya sendiri. Bisa saja barang itu hanya titipan.

“Tumben beli itu?”

“Ya tuntutan kerja, mau gimana lagi. Dan enggak tumben juga. Tapi emang sih biasanya kalau beli aku titip temanku. Belinya di sini juga kok dia,” ucapnya santai sembari menarik kembali dompet di saku belakang celananya.

“Memangnya kamu kerja di mana?”

“Dekat, cuma dua gang di belakang minimarket ini.”

 

 

Related posts

Leave a Comment

16 − 2 =